Sunday, March 17, 2019

FLS 2019 Lomba Baca Puisi Azka Fiorenza SDN Burengan 2 Kota Kediri



Video ini hanya koleksi pribadi, bukan unggahan resmi dari pihak SDN 2 Burengan Kota Kediri. Sekaligus sedikit revisi atas judul dari pengunggah resmi yang "Salah", sehingga mengakibatkan video aslinya tidak ditemukan di mesin pencarian google ketika dituliskan kata kunci "FLS 2019 Lomba Baca Puisi". Saya sendiri sebelum ini menemukan video ini berdasarkan kata kunci yang salah, yakni FLN 2019 Lomba Baca Puisi Azka Fiorenza SDN Burengan 2 Kota Kediri.



Dengan mengunggah ulang video ini, saya berharap banyak pihak bisa belajar bahwa puisi, baca puisi, sastra, seni, dan hal-hal sederhana lainnya dalam hidup kita bisa menjadi viral. Sekaligus belajar untuk tidak mengulangi kesalahan memberikan judul video.





Salam,





Ai

I'm a blackhat. Do not try to find any white in my head.

Saturday, February 26, 2005

Kongsi

Selagi punya kesempatan buat jogging pagi, buat apa ditunda lagi. Toh sebentar lagi aku sudah tidak bakal punya waktu lagi buat jalan-jalan macam ini. Sambil menyusuri jalan sekitar rumah, bisa kunikmati juga suara orang-orang yang bakalan ramai melakukan pemilihan atas diriku. Dengan topi pantai ini, kukira tidak semua orang bakal mengenalku. Aku tidak berharap banyak, sekali pun yakin sekali bakal memenangi percaturan kali ini. Toh, targetnya juga tidak terlalu tinggi, cukup satu kursi saja di satu kota.

Belum beberapa langkah keluar rumah di warung depan gang sudah kudengar selentingan. Kata salah seorang pemuda di situ, kalau kelompok gabungan empat kekuatan rivalku dengan nama kongsi kebanggaan benar-benar dijalankan secara permanen, akan mengubah sistem politik Indonesia secara signifikan pascapemilihan Walikota/Wakil Walikota putaran kedua nanti. Kongsi permanen itu bakal berdampak terhadap terciptanya dua blok kekuatan politik diametral, yakni jajaran pemkot yang berkuasa dan oposisi formal dalam parlemen.

Kulirik pemuda itu, ternyata dia salah seorang aktivis sebuah LSM Pendidikan Sobirin. Pada dasarnya aku suka pada orang pintar macam dia, tapi tidak untuk duduk bersama satu meja. Apalagi di meja makan, aku tahu orang-orang macam mereka cenderung doyan makan dan kurang kerja. Tapi baguslah, setidaknya mereka suka bicara. Terutama yang aku suka, Sobirin bisa bicara apa yang aku mau tahu.

Aku jadi ingat beberapa peristiwa dari awal-awal ’98. Waktu seorang teman yang dikenal sebagai orang pintar juga, Herman atau Hermawan aku lupa tepatnya, dia datang ke sekolah-sekolah, mengipasi kompornya anak-anak muda di sana buat segera mendesak pelengseran Pak Tua – Walikota dari masa itu. Angin memang lantas jadi besar, berputar-putar di sekitar Kantor Walikota. Dan seterusnya lapuklah kayu jati kursi Pak Tua yang memang sudah mulai digerogori rayap di sana-sini itu. Waktu itu aku masih jadi KaSatpol PP di salah satu Kecamatan. Yah, siapa sangka sebentar lagi sudah giliranku naik panggung. Siapa sangka? Tak ada yang menyangka, memang, kecuali aku sendiri dan kau yang gila tentunya.

Sementara aku menggelibat di bawah pohon dekat warung itu, obrolan anak-anak itu makin ngelantur rupanya. Si Dayat Atmodimejo nyeletuk sambil menyambar sebatang pisang goreng. "Kalau para pejabat itu suka bikin kongsi, nantinya kota ini malah jadi bancakan segelintir orang saja, Rin. Padahal kongsi macam gitu belum tentu pas buat urusan pilihan Walikota begini ini. Malah bisa-bisa benturan sama gerakan massa."

Waduuuh, Dayaaaaat, Dayat. Kok jan pinter tenan kowe, batinku sambil pringas-pringis sendiri.
“Wah, ya ndak bisa gitu, Yat.” Sergah Shobirin, “Biar dikata pilihan langsung, tapi orang kita itu kan masih tradisional, masih bisa ditebak arahnya sama gerakan orang-orang atasnya. Orang-orang kita itu masih nggah-nggih sama bendoronya, kyaine. Sekali pun masih harus ditunggu bagaimana para bendoro itu merapatkan barisan sampai ke bawah." Kurang ajar, ternyata ada juga makhluk kucluk berpikiran miring yang tidak mempan program perubahan yang sudah aku janjikan macam begini, mana ludahnya nyembar-nyembur ke sana-sini lagi. Weeelhaaaaa.
Dia ini sambil berlomba ngremus pisang goreng dengan si Dayat, masih bisa bilang tidak terlalu sepakat dengan mereka yang menganggap kalau kongsi-kongsian itu tidak penting dalam pemilihan Walikota langsung ini. “Konfigurasi kekuatan politik yang mengkristal akan bergantung dari hasil pilwali putaran kedua nanti. Dengan syarat, pernyataan kongsi itu akan permanen bisa dibuktikan,” katanya sampai mulut berbusa-busa.

Masih saja nerocos, dasar gembol dobol, kalau Ega/Cak Kocim yang menang, maka akan muncul penguasa yang kuat semacam Barisan Nasional. Walaaaaah, jaaaaan, moncol temenan Arek iki. “Untuk itu, sangat diperlukan kekuatan politik penyeimbang di tingkat parlemen nantinya yang akan mampu mengimbangi dan mengawasi kekuatan kongsi itu, dalam bentuk oposisi,” kotbah Sobirin makin menjadi.

Sebaliknya, kalau Aku dan Cak Ucup yang unggul, praktis parlemen bakal didominasi oleh kekuatan oposisional. “Yang berbahaya, nanti pas Sss-Cup menang dan mereka tidak menyadari bahwa bagaimana pun tetap perlu merajut kongsi dengan kekuatan politik formal dalam bentuk parpol, pemkot akan sangat tidak efektif. Kekuatan oposisi di parlemen akan terus merongrong pemerintahan yang berkuasa," tuturannya yang benar-benar mirip drama radio lama tutur-tinutur membikin semua pendengarnya cuma bisa manggut-manggut.
“Yaaa, saya se, tidak berharap banyaaaak. Moga-moga saja kongsi-kongsian itu bukan sekadar buat bagi-bagi kuasa. Tapi, benar-benar dilakukan dengan berorientasi bagi perkembangan demokrasi kita dalam jangka panjang," tegas Sobirin dengan lagak aktivisnya.
“Kalau gitu sama saja makan simalakama, Cak,” celetuk Bowo si tukang koreksi buku koleksi Balai RW.
Celetukan itu tak membuat Sobirin jadi galak, bagai diplomat ulung dia mengelak. Dia malah menegaskan pada situasi sekarang tidak penting mengarahkan pilihan pada calon A atau B. “Jauh lebih penting dari itu, kita memberi wawasan kepada publik tentang implikasi-implikasi politik yang akan muncul ketika menjatuhkan pilihan pada salah satu calon. Rakyat akan tahu dampak yang muncul kalau ia memilih A atau B. Itu yang terpenting,” ujarnya.
“Wah, kalau orang-orang atas pada ngikuti cara sampeyan dan nggak perduli sama sikap rakyat, bisa-bisa tambah banyak yang anti partai. Padahal partai itu kan alat demokrasi.” Ayo Dayaaaat, jangan kalah cerdik sama Si Birin itu. “Jadi, sikap politik yang ditunjukkan salah satu kelompok buat netral adalah pilihan yang bijaksana dalam situasi politik saat ini,” lanjut si Dayat tak kalah dahsyat menggasak gorengan. “Kalau mereka cuma ngurusi bagi-bagi kursi dan rezeki, jangan kaget kalau nantinya mengental sikap anti partai. Sekarang saja bibitnya sudah muncul.”
“Gila, bener-bener gila. Kongsi macam begitu itu risikonya tinggi, lho. Dalam teori politik klasik seperti dalam buku State in Theory and Practice tulisan Harold J. Laski dikatakan partai merupakan salah satu instrumen demokrasi, dengan sejumlah fungsi yang melekat seperti agregasi, artikulasi, rekrutmen politik, dll.," ujarnya Dayat tanpa basa-basi menyambar rambak goreng. Kremus, kremus, kremus.

Akan tetapi, lanjut Dayat di balik kremusan rambaknya, dalam kenyataan politik di negara kita partai itu sekadar jadi kendaraan politik untuk ambisi pribadi. “Saya cukup tahu bahwa dari tingkat nasional, provinsi, sampai kabupaten/kota biasanya sikap pimpinan partai dipengaruhi oleh masalah lain di luar politik. Ada yang merasa diuntungkan dalam masalah hukum yang dihadapinya atau ada juga yang merasa terancam oleh jeratan hukum yang dihadapinya. Ujung-ujungnya hal itu berimbas pada sikap politik yang bertentangan dengan hakikat demokrasi itu sendiri," urai Dayat. Wah, wah, wah, benar-benar salut buat Dayatku Dahsyat.
Akhirnya Dayat menegaskan bakalan sulit mengarahkan orang-orang dari tingkat kecamatan ke bawah buat bersikap sama dan sebangun dengan sikap elite di provinsi, kota/kabupaten, apalagi nasional. “Pengalaman pemilu legislatif dan pilwali putaran awal menunjukkan demikian,” ujarnya.

Akhirnya aku makin tahu apa kira-kira yang ada di pikiran orang-orang yang bakal aku atur ini. Sebenarnya ada atau tidak adanya kongsi itu bukan terlalu soal bagiku. Sebab aku sudah cukup lama menyiapkan diri buat perhelatan ini. Ya, kira-kira sejak Pak Tua itu turun, lah. Tidak sulit, kok, caranya. Toh, Pak Tua itu juga musti belajar dulu selama 20 tahun dulu pada si Abang Besar, sebelum akhirnya berkuasa selama lebih dari 6 periode. Dan aku? Aku sudah menyiapkannya kira-kira dalam tempo yang sama dengan Pak Tua, kau tahu itu. Ingat, kan? Bagaimana aku selalu luput dari segala cobaan dan hukuman. Singkatnya, aku sangat yakin dengan semua persiapanku ini. Tak perlu khawatir, nanti namamu pasti ikut tercatat dalam buku kebaikan di kota ini. Kalau tidak, bisa saja tercatut dalam buku kebusukan.

Soalnya, kenapa aku agak sewot dan musti ikut-ikutan bikin semacam kongsi adalah usaha mengganjal Ketua Parlemen Kota yang sangat licin itu. Kau tahu, toh, dia lahir dari jenis paling berlendir. Luput dari sana-sini, malah pakai pura-pura mengancam kader-kadernya di tingkat kecamatan lantaran ndak satu suara sama pilihannya. Ah, mustahil itu benar-benar dilakukannya. Itu kan cuma caranya menarik simpati kawan sekongsi saja. Tahulah, tahu. Tahu, kan, bagaimana pintarnya dia mengulur waktu karena kasus susu tempo hari? Dengan begitu kan dia bisa memainkan arah angin.

Ah, sudahlah. Lebih baik lanjutkan jalan-jalan pagi ini. Sebelum pelanggan warung ini ribut, karena calon walikota mereka ikut nimbrung.
****

Aha, akhirnya kau datang juga. Biar cuma lewat mimpi buruk begini. Setidaknya aku bisa mendengar kabar darimu, kalau kemenangan cukup gamblang. Tiga puluh banding dua puluh, wah-wah-wah. Coba kau datang lebih awal, pasti ada bir temulawak di kulkas buat pengganjal lever hepatitismu. Ayolah, senang-senang sedikit. Lupakan uban dan bekas binimu yang gemar berpolitik itu. Ayo.....200904